Semoga Tak Ada Arogansi (Lagi)
PARTAI penuh gengsi kembali digeber di Jogja. Kali kedua PSIM berjumpa PSS di rumput hijau di musim kompetisi Liga Indonesia tahun ini. Tak dipungkiri persaingan kedua tim bersaudara tersebut hampir selalu menaikkan tensi selama pertandingan berlangsung.
Terlebih bagi kedua kelompok suporter Brajamusti dan Slemania. Gesekan antarsuporter tak pernah terhindarkan saat kedua tim tersebut berjumpa. Meski kesepakatan tiga wadah suporter DIJ – Brajamusti, Slemania, dan Paserbumi – sudah menjadi komitmen bersama, tetap saja ada yang melanggar kesepakatan tersebut.
Insiden antargrassroot pun, harus diakui, pasti terjadi setiap tim Laskar Mataram bertemu dua tim DIJ lainnya, baik PSS maupun Persiba. Berbagai imbauan baik dari masing-masing petinggi organisasi suporter, panpel, aparat keamanan, maupun tokoh-tokoh sepak bola DIJ, rupanya, tak mempan untuk menghilangkan “permusuhan” yang tak sepantasnya terjadi sesama warga Jogja (DIJ).
Hanya sekadar mengingatkan, insiden memalukan saat Persiba bertamu di Stadion Mandala Krida tahun lalu. Dimana penonton yang diduga warga Bantul disweeping sekelompok pendukung tuan rumah PSIM, hingga jatuh korban. Apakah sikap tidak “dewasa” itu akan dilakukan lagi pada pertemuan PSIM kontra PSS sore nanti?
Apalagi, santer terdengar bakal ada aksi balas dendam atas insiden di Stadion Maguwoharjo (saat derbi pertama, Red). Semoga saja tidak. Kondusifitas Kota Jogja, semua orang mengharapkan tetap terjaga aman. Terlebih, saat ini, pascapemilu keamanan Kota Jogja menjadi perhatian bersama.
Tak kondusifnya keamanan setiap laga derbi justeru kerugian bagi panpel. Seharusnya panpel bisa meraup laba dari penjualan tiket pertandingan, akhirnya harus buntung karena penonton enggan mendatangi partai yang seharusnya menjadi kebanggaan publik bola di DIJ.
Ketegasan sikap petugas keamanan, kiranya, menjadi peran utama dalam pertandingan bergengsi ini. Namun, semua pihak menginginkan suasana aman dan kondusif tetap memayungi Kota Jogja. Arogansi fanatisme suporter semestinya pula menjadi hal positif dalam membangun sepak bola DIJ. Karena boleh dibilang, Jogja adalah barometer nasional sepakbola berbasis intelektual. Kini, tinggal siapa yang memiliki “intelektual” tersebut.
radar jogja
0 komentar:
Posting Komentar